Minggu, 27 Februari 2011

Sadar atau Tidak, Kita Telah Menikmati Ketidakberdayaan Kita

Terlalu banyak peristiwa mengenaskan terpampang di sekitar kita. Bagaikan sampah yang berserak pasca acara konser band di lapangan. Air mata tak mau lagi keluar dari kelopaknya, entah karena telah kering ataukah tidak ada lagi kepedulian. Atau mencoba menutupi kesedihannya dengan menyalahkan mereka sebagai kelompok pemalas. Atau mencoba bersabar, bahwa semua itu adalah cobaan yang memang bisa menimpa siapa saja.
Ada sayatan plus rasa nyeri setiap melewati jalan-jalan sempit sepulang kerja kantor. Hampir setiap hari saya melewati jalan itu. Setiap hari juga sayatan itu mengenai hati saya yang mungkin terlalu sensitif.

Anak-anak berwajah kuyu dengan pakaian lusuh meramaikan jalan sempit itu. Sambil mengendari motor dengan sangat pelan dan kehati-hatian, saya lirik kanan kiri. Rumah-rumah sempit tak berjendela berjejal sepanjang jalan. Anak-anak kecil satu-satu muncul dari pintu-pintu rumah tanpa teras itu.

“Masa kecil yang minim keceriaan,” batin saya.

Ya, terlalu banyak penderitaan yang dialami orang-orang sekitar kita. Terlalu banyak orang yang perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari kita. Lihatlah di tepi-tepi jalan, betapa banyak kaum tunawisma sebutan ‘halus’ dari gelandangan, hidup di beralaskan tanah beratapkan langit. Makan apa yang ada di depannya, meski dari bak-bak sampah. Lihatlah lagi, masih di tempat yang sama, anak-anak ‘tanpa masa depan’. Menyanyi sekenanya dengan peralatan seadanya sambil menengadahkan tangan berharap uang receh jatuh ke tangannya. Atau yang lebih ‘mendingan’ para ‘senior’nya dengan peralatan dan suara yang lebih layak. Membawakan lagu-lagu jalanan yang lebih banyak berisi kritikan kepada para penguasa yang tak peduli kepada rakyatnya.

Pada view yang lebih luas, terpampang banyak cerita penderitaan rakyat jelata di seantero nusantara. Seorang ibu tega membunuh anak-anaknya sebelum mengakhiri hidupnya karena tidak tahan kemiskinan yang menderanya. Seorang nenek terpaksa mencuri karena tak ada lagi yang bisa dimakan untuk mempertahankan hidupnya. Atau seorang ayah muda harus melakukan perbuatan dilarang oleh agama maupun pemerintah agar tetap bisa menyekolahkan anaknya, untuk sekedar membayar uang buku pelajaran.

Deretan cerita penderitaan rakyat tak berhenti sampai di situ saja. Mungkin persediaan kertas di kantor akan habis, pun di toko-toko kertas atau di super market-super market, untuk menuliskan deretan cerita unhappy dari negeri kaya raya tapi penuh derita ini. Sepasang suami istri tidak bisa lagi mengeluarkan air matanya, pun ungkapan kemarahnya. Tidak bisa lagi harus berbuat apa saat menggendong anaknya yang tengah sekarat dan butuh pertolongan, namun apa daya, niat mulianya menolong anaknya tidak bisa terlaksana. Pihak rumah sakit menolak merawatnya dengan alasan yang tidak bisa mereka mengerti. Lain lagi yang dialami rakyat jelata lainnya di tempat yang berbeda. Seorang ayah tega membiarkan anak-anaknya hidup tanpa masa depan yang lebih. Biaya pembelian buku, pakaian seragam dan lain-lain, menyebabkan ia tidak kuasa menyekolahkan anak-anaknya.

Di sisi lain, negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, cerita kehidupan segelintir orang yang bergelimang harta tak pernah berhenti menghiasi media. Televisi atau koran dan majalah. Yang lebih menyakitkan adalah kegelimangan harta itu didapat dari cara yang tidak halal alias korupsi, penggelapan, bermain curang dan sebangsanya.

Di sapanjang jalan yang saya lalui setiap hari, tidak sedikit cerita itu tertutur. Cerita menyayat hati, menggores luka yang semakin lama semakin dalam. Kondisi tak berbeda saat saya sesekali naik bis kota, metro mini atau kopaja, tidak menggunakan motor saya yang sudah mulai batuk-batuk kalau untuk berjalan cepat. Sekumpulan anak muda atau bahkan ada yang masih sangat muda, menyanyi dengan iringan alat sederhana atau hanya sekedar tepukan tangan. Setiap mau bepergian dengan menggunakan bis kota, saya selalu sediakan uang seribuan (lima ratusan sudah tidak dapat apa-apa di Jakarta) untuk mereka. Saya tidak sependapat dengan segelitir orang yang mengatakan bahwa mereka adalah kaum pemalas. Mau enaknya saja.

Benarkah mereka pemalas, saya berpikir berkali-kali untuk bisa menerima ungkapan itu. Namun, tetap saja tidak bisa menemukan alasan untuk menerimanya. Keadaanlah yang membuat mereka seperti itu. Akan tetapi, apapun alasannya, kini mereka adalah orang-orang yang membutuhkan bantuan. Membutuhkan belas kasihan, terlepas dari apa latar belakang sosial, politik, maupun pendidikan mereka.

Beberapa teman sepakat dengan apa yang saya ungkapkan. Bahwa mereka yang kesusahan, yang dengan terpaksa harus meminta-minta apapun modus operandinya, kalau ditanya, hati kecilnya pasti tidak menginginkan itu. Kalau ada pilihan, mereka akan memilih yang lainnya. Sekali lagi, pilihan itu tidak ada pada mereka. Hanya itu ide mereka.

Kemiskinan terstruktur, kata salah seorang temanku.

Kemikinan sistemik, kata yang lainnya.

Ya Allah, hamba mohon ampun atas ketidakberdayaan ini.
Kadang saya bertanya pada diri saya sendiri. Siapa seharusnya yang bertanggung jawab atas mereka? Saya, atau yang lainnya? Rasulullah saw pernah berpesan mengenai kepedulian terhadap tetangganya. Intinya agar tidak sampai terjadi pada diri kita bahwa jangan sampai ada tetangga yang tidak bisa tidur karena kelaparan, sementara kita sendiri tertidur nyenyak karena kekenyangan. Ya rabb, atas ini hamba memohon ampunan-Mu. Bukan hamba tidak mau, tetapi hamba tidak berdaya.

Ingin sekali saya membantu semua orang yang kesusahan, tapi apa daya. Ingin sekali saya mencukupi kebutuhan mereka tetapi tak satu pun yang bisa saya perbuat. Kadang muncul pertanyaan di dalam diri saya. Bukankah seharusnya ini adalah tugas pemerintah? Bukankah mereka seharusnya dicukupi oleh pemerintah, sesuai UUD 1945? Bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara?

Sungguh saya, dan mungkin juga teman-teman saya yang lain sangat tidak berdaya menghadapi penderitaan mereka.

Yang bisa diperbuat kini hanyalah, memejamkan mata rapat-rapat, menutup telinga kuat-kuat, membungkus hati dengan kain yang sangat tebal. Bukan apa-apa, hanya karena menginginkan ketanangan hidup, kenyamanan perasaan. Tanpa ‘gangguan’ mereka. Tanpa penderitaan mereka.

Untuk menghibur diri, hatinya memaksakan diri berkata,”Ah biarlah, mereka bukan tanggung jawab saya.” Atau ungkapan lain,”Tenang saja, mereka hanya pura-pura. Toh saya sudah pernah peduli dengan mereka.”

Yah. Akhirnya banyak orang merasa terbebas dari urusan penderitaan mereka. Akhirnya mereka merasa tidak mempunyai tanggung jawab atas penderitaan kaum papa tak berdaya. Orang-orang yang hidup tanpa rumah, tanpa kejelasan makan atau tidak, bahkan tanpa busana yang berbeda hari demi hari. Kita telah menikmati ketidakberdayaan kita.
Wallahu a'lam bishshawab

Jumat, 30 April 2010

MENCABUT AKAR KORUPSI DI DITJEN PERBENDAHARAAN

koruptorGenderang perang melawan korupsi di lingkungan Ditjen Perbendaharaan telah ditabuh. Tidak tanggung-tanggung. Genderang perang itu ditabuh oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indarwati, saat meresmikan 18 KPPN Percontohan, 30 Juli dua tahun lalu.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa munculnya ide mendirikan KPPN Percontohan ini adalah berawal dari rasa keprihatinan adanya praktek pungli yang sangat meresahkan di KPPN-KPPN pada waktu itu. Untuk menghilangkannya, diperlukan keberanian. Upaya memotong generasi dan mengubah mindset pegawai dilakukan, apapun resiko yang akan ditanggung. Pembatasan umur pegawai yang berhak mengkuti seleksi adalah upaya memotong generasi itu. Selanjutnya, mindset pun dibentuk. Dibuatkan Standard Operating Procedure sebagai acuan kerja. Dan hasilnya, cerita pungli seperti terjadi di masa lalu, kini tidak ada lagi. Tidak terdengar lagi, bukan karena ditutup-tutupi, tetapi memang benar-benar tidak terjadi lagi.

Upaya-upaya mencabut akar korupsi di Ditjen Perbendaharaan terus berjalan tanpa henti. Setiap ada pegawai yang dipromosikan menduduki jabatan esselon baru, selalu diadakan pembekalan. Gerakan mengubah mindset para pejabat. Reformasi birokrasi itu bukan sekedar berganti baju. Tetapi mengubah mindset. Inilah cara melawan korupsi ala Dirjen Perbendaharaan, Herry Purnomo. Mencabut sampai akar-akarnya, biar tidak bisa tumbuh lagi.
Disamping itu, upaya mencegah korupsi dan terapi mental para pegawai juga dilakukan. Pada saat Dirjen Perbendaharaan mendapati kasus korupsi, suap atau sebangsanya, langsung dilakukan shock terapy bagi pegawai yang lain. Sanksi Berat telah dikeluarkan, meski pegawai yang melakukan itu bukan di KPPN Percontohan.

Kasus yang terjadi di sebuah KPPN (Non Percontohan) yang pegawainya bukan hasil seleksi, menjadi contoh. Tidak ada toleransi bagi mereka yang menerima ’amplop’. Tidak ada permakluman karena bukan KPPN Percontohan, meski sebenarnya Dirjen Perbendaharaan bisa saja beralasan mereka belum menjadi objek reformasi. Artinya, para pegawai memang belum ‘diganti’ kepalanya. Jadi kalau masih mau menerima uang tanda terima kasih adalah wajar. Tetapi, sanksi tetap dijatuhkan. Dari pelaksana hingga kepala kantornya. Tidak ada toleransi. Hati tidak bergetar yang kemudian mengajak kakinya surut ke belakang mendengar tangisan mereka yang terkena sanksi. Yang ada di benak Dirjen Perbendaharaan hanya satu suap dan korupsi, sekecil apapun, harus hilang dari Ditjen Perbendaharaan. Ini tidak main-main. Bukan upaya pencitraan di media massa, karena bukan itu sasarannya, dan memang tidak ada media massa yang meliput gerakan reformasi di Ditjen Perbendaharaan. But, beurocratic reform must go on.

Dalam setiap kesempatan, Direktur Jenderal Perbendaharaan, Herry Purnomo, berpesan, ”Katakan no, ketika atasan meminta uang setoran.” Begitu juga pesan Sesditjen, K. A. Badaruddin. Pembekalan ini dilakukan agar mindset Anda-anda ini berubah. Kami pimpinan di sini, Pak Dirjen, saya dan juga pimpinan yang lain tidak ingin ada kasus pegawai Ditjen Perbendaharaan menerima amplop.

Mengomentari reformasi birokrasi di Ditjen Perbendaharaan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indarwati berpesan, ”Jaga sistem yang sudah baik ini. Jangan sampai nila setitik rusak susu sebelanga.”

Jadi, adakah yang lebih serius dan masif gerakannya dalam memberantas korupsi dari ini? Masih adakah pegawai yang berani menerima atau mencari-cari amplop? Pasti akan segera dicabut, sampai ke akarnya!!

Rabu, 14 April 2010

TIDAK ADAKAH CARA YANG LEBIH ARIF?

Sungguh hatiku berdebar. Jantungku saolah tak mau berdetak. Seorang sopir taksi, menurut pandangan mata, sudah sangat tua untuk ukuran seorang pekerja. Mestinya sudah saatnya menikmati hari tua, tetapi ini masih bekerja menjadi sopir taksi. Bapak tua sedang teriak sekeras-kerasnya sambil tangannya mengepal ke arah bawah. Wajahnya mengeras, tubuhnya mengejang. Entahlah, karena marah atau justru karena takut. Seorang polisi yang lagi menginterogasi pak tua dengan berteriak-teriak, tangan menggenggam keras sambil telunjuk hampir menempel di muka pak tua.

Hatiku trenyuh. Entah mengapa aku teringat wajah kurus bapakku yang sudah lama meninggal dunia. Aku bertanya di dalam hati, tidak adakah cara lain yang lebih pantas dalam bertanya dengan orang yang lebih tua. Memang dia hanya seorang sopir. Bahkan mungkin memang dia sudah melakukan kesalahan. Dia mungkin juga sadar sedang berhadapan dengan siapa. Dia mungkin mengakui bahwa dirinya hanya seorang sopir yang sudah melakukan kesalahan dan sekarang sedang berahadapan dengan seorang polisi muda di jalan raya. Menurut perasaanku saat itu dan terbawa hingga sekarang, tindakan polisi itu tidak pantas, dilihat dari sudut manapun.

Coba seandainya semua orang yang sedang memegang kekuasaan sekecil apapun kekuasaan itu seperti polisi yang sedang menanyai sopir itu, berbicara berdasarkan perasaan yang paling dalam, mungkin tindakan itu tidak akan ada. Di sepanjang perjalanan, hatiku terus bertanya-tanya, kenapa sih harus begitu. Coba seandainya yang dihadapi itu ayahnya sendiri yang sudah renta. Atau, seandainya suatu saat nanti, ketika polisi itu sudah tua renta. Dan entah karena apa, dengan sangat terpaksa berubah profesi menjadi sopir taksi, dan kebetulan juga melakukan kesalahan dan ketangkap polisi, maukah diperlakukan seperti itu. Diteriakki sekencang-kencangnya sambil telunjuknya mengarah ke mukanya, bagaimana rasanya. Tidak adakah cara yang lebih arif dalam memecahkan persoalan. Oh manusia...tidak perlu menunjukkan kekuasaannya dengan cara seperti itu. Orang sudah tahu.

Belum lagi terjawab pertanyaan hatiku, esoknya, pagi-pagi sekali, ada berita dari tivi, terjadi bentrokan berdarah di Tanjung Priok Jakarta. Di atas permakaman pula. Ada yang tewas, lebih dari seratus korban terluka. Satpol PP melawan warga yang menolak penggusuran makam. Masya Allah...Tidak adakah cara yang lebih arif dalam menyelesaikan sesuatu. Aku selalu berandai-andai. Seandainya para pemimpin yang berkuasa memberi perintah mau bersikap arif... Andai para anggota satpol PP mau bersikap arif... Andai warga mau bersikap arif...tentu tidak akan terjadi peristiwa memalukan dan juga memilukan itu.

Tidak kah terlintas di pikiran ketika seorang petugas mengayunkan pentungan atau apa saja ke arah seorang warga yang kebetulan anak-anak, bahwa seandainya yang di depannya, yang siap menerima pentungan itu anaknya sendiri...masih tegakah?

Tidak kah berpikir, ketika seorang warga mengayunkan goloknya, dan yang di depannya ternyata kakaknya sendiri, atau bapaknya atau anaknya, masihkah akan diteruskan ayunan mematikannya itu? Duh Gusti... berilah penduduk negeri ini limpahan kasih sayang-Mu yang tak pernah berhenti...

Kalau saja petugas satpol PP itu mau berpikir sebentar saja ketika hendak membolduser makam dan sekitarnya, atau membolduser rumah-rumah penduduk yang belum jelas status hukumnya apakah benar atawa salah, seandainya istri, anak, menantu, orang tua, mertua ada di situ, tinggal di situ, mencari nafkah di situ, masih akankah melanjutkan tugas dengan kekerasan?

Tidak adakah cara lain yang lebih arif? Ah seandainya semua orang mau bertanya dulu kepada kata hati yang paling dalam sebelum bertindak....Ya Rabbi...ampuni kami...

Senin, 22 Maret 2010

Kulihat ketulusan di matanya...

Siang itu (Sabtu, 20 Maret 2010) aku berkumpul dengan teman-teman mau pergi ke lapangan Monumen Nasional (Monas). Ada pesan untuk ikut acara munashoroh (aksi kepedulian dan penggalangan dana) untuk bangsa Palestina. Beberapa orang berkumpul menunggu bis yang sudah disiapkan. Sambil menunggu, satu persatu aku tatap wajah-wajah mereka. Entah apa sebabnya, hati tergetar dan mataku basah. Buru-buru aku usap, sebab tak ingin ada yang melihat kejadian ini.

Mata-mata itu menyiratkan ketulusan. Mereka dengan antusias mengikuti setiap apa yang diminta oleh gurunya, termasuk acara munashoroh ini. Inilah prototip kawulo alit, rakyat jelata, orang kecil atau wong cilik, mereka mengikuti acara apapun baik acara sosial maupun politik tanpa memperhitungkan apa manfaatnya buatku. Mereka sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami patuh) terhadap setiap qararat (perintah) yang mampir padanya. Tidak dibayar, tidak juga diintimidasi. Mereka berangkat dengan sukarela dan senang hati. Tanpa bicara, tanpa keluhan, mereka berangkat menerjang hujan dan berhimpitan di bis Metromini yang kapasitasnya sangat terbatas.

Sesampainya di lapangan monas, hatiku lebih bergetar lagi. Teriakan Ustadzah Yoyoh Yusroh dan Ustadz Hidayat Nurwahid seperti mendidihkan darah di setiap aliran nadi. Lantunan nasyid yang diiringi drum yang menggelegar mampu menegangkan setiap otot untuk menyalurkan kekuatan yang berujung teriakan “Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar”. Di samping kanan, kiri, depan dan belakangku berjejal para kader dan simpatisan yang dengan penuh semangat menyambut setiap seruan. Aku sangat suka memandangi wajah-wajah mereka secara sembunyi-sembunyi. Aku menikmati ketulusan mereka. Dan setiap menemukan ketulusan itu, hatiku bergetar dan terasa ada air di mataku yang dengan buru-buru kuusap agar tidak ada yang mengetahuinya.

Entah kenapa, setiap melihat wajah-wajah mereka yang menyiratkan ketulusan itu, pikiranku melayang kepada peristiwa-peristiwa politik di negeri ini. Kebijakan-kebijakan politik orang-orang ‘hebat’, orang-orang ‘atas’, para pemimpin negeri ini. Pernahkah mereka melihat apa yang aku lihat dan aku rasakan ini? Meski secara ilmiah aku tidak tahu apa pengaruhnya dengan sikap pengambilan kebijakan bagi mereka, tetapi aku pikir mereka seharusnya sering-sering menatap wajah-wajah mereka, kawulo alit alias rakyat jelata. Ada ketulusan yang dapat memberikan energi luar biasa dalam mengambil sebuah keputusan.

Aku berpikir, seandainya orang-orang ’atas’ mau sejenak menengok ke bawah, menyempatkan diri di sela kesibukan yang begitu padat, tentu akan sangat bagus akibatnya untuk kedua belah pihak. Kekecewaan wong cilik terjadi karena sering kali realita di lapangan tidak sesuai yang mereka harapkan. Dan harapan mereka tidaklah tinggi. Hanya sekedar ingin melihat konsistensi ‘orang-orang atas’ yang sudah mereka percaya. Hanya itu. Mereka tidak mempermasalahkan apa yang sudah didapat oleh orang-orang pilihan tersebut. Hanya itu. Betul hanya itu. Hanya berharap bahwa mereka, orang-orang atas itu, tetap berada pada kepribadian seperti di saat merek dipilih dahulu.
Aku melihat ada ketulusan di mata mereka...jangan kecewakan mereka...

Sabtu, 13 Maret 2010

Mengukur Rasa Syukur Kita

Adalah karakter bawaan manusia yang menjadikan mereka tak pernah lepas dari rasa gundah gulana. Meski sebenarnya hal itu bisa ditangkal jika kita mau berusaha. Innal insaana khuliqa halunu’a, sesungguhnya manusia diciptakan penuh keluh kesah. Tetapi, bukan berarti itu paten, tidak bisa berubah. Bahkan sifat itu menjadi salah satu tantangan kita untuk menjadi manusia pilihan yang dimuliakan Allah jika kita dapat menundukkannya.

Keluh kesah jelas bukan sumber kebahagiaan, meski si empunya mencoba mencari ketenangan dengan itu. Mencoba mencari kesalahan pihak lain adalah cara paling mudah untuk mengutuk keadaan dirinya, dari pada harus mengoreksi diri sendiri yang sering mendatangkan rasa sakit di hati. Langkah ini dianggap dapat mendatangkan ketenangan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Falsafah orang jawa bisa dijadikan contoh untuk mendapatkan ketenangan ini. Untung. Ya, dalam keadaan apapun selalu untung. Setelah mengetahui rumahnya dirampok orang tak dikenal, si empunya rumah berucap,”Untung, istri dan anaknya selamat.” Untung, hanya harta yang diambil, bukan nyawa saya.

Rasulullah pernah berpesan kepada para sahabat, sungguh menkjubkan sifat seorang muslim. Semua keadaan selalu dipandang baik. Jika mendapat nikmat dia bersyukur, itu baik baginya, jika mendapat musibah, ia bersabar dan itu baik baginya.

Syukur dan sabar menjadi dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Bagai dua sisi mata uang yang saling menguatkan makna. Mensyukuri setiap apa yang kita dapatkan dari Allah, dengan perantara usaha kita, dapat kita lakukan dengan dukungan kesabaran terhadap kekurangan hasil atau diri yang kita hadapi. Tanpa dukungan kesabaran, yang ada adalah keluhan. Sudah merasa berbuat banyak, tetapi tidak memberikan hasil yang maksimal. Ujung-ujungnya mencari kambing hitam atau menuduh Allah tidak adil.

Ketidaktenangan hidup kita adalah akibat pikiran kita sendiri. Rasa was-was jangan-jangan ada orang yang akan berbuat jahat pada saya, atau jangan-jangan saya dikhianati oleh orang yang disayangi atau apapun pikiran-pikiran negatif. Termasuk ’tuduhan’ bahwa Tuhan tidak adil. Saya sudah berbuat banyak kebaikan tetapi kenapa justru banyak yang berbuat jahat pada saya. Begitu seringkali pikiran kita mengarahkan. Padahal benarkah demikian.

Adalah kesalahan kita sendiri manakala kita terpuruk pada kesedihan. Adalah kebodohan kita jika hidup kita hancur. Sebab, sesungguhnya, hidup kita sepenuhnya kita yang menentukan atas pertolongan dan ketetapan Allah. Bukan orang lain. Bukan orang lain yang memberi warna apakah merah, hijau, kuning, putih atau abu-abu bahkan hitam kelam. Semuanya tergantung kita sendiri.

Rasa syukur akan menjadikan kita tenang. Dan syukur yang benar adalah melihat pemberian dr Tuhan adalah suatu yang besar, meski kita seringkali menganggapnya kecil. Sekecil apapun pemberian dr Allah, harus kita lihat sebagai suatu karunia yang sangat besar. Sebab, siapapun kita, sepandai apapun, sehebat apapun, sedetikpun tidak bisa lepas dari kekuasaan Allah. Tanpa pertolongan-Nya, kita tak dapat berbuat apa-apa. Tanpa bimbingan ilmu dari Allah, kita bukan siapa-siapa.

Karunia dr Allah tidak ada kaitannya dengan pengorbanan kita, pengabdian kita, ibadah kita, atau apapun yang sudah kita persembahkan.

Pernahkah kita berpikir, mengapa Allah memberikan jaminan rizki kepada kita bahkan jaminan untuk dua tahun lamanya untuk kita, padahal kita belum berbuat apapun untuk Allah. Bahkan kita belum mengenal siapapun. Jadi sebab apa Allah memberikan rizki itu untuk kita??

Rizki atau karunia Allah untuk kita tidak ada hubungannya dengan pengabdian dan pengorbanan kita pd Allah. Yang ada adalah, bahwa kitalah yang harus menanggapi pemberian itu dengan baik. Dengan mengikuti apa yang Dia kehendaki. Itulah cara kita mensyukuri nikmat yang ada pada kita. Coba saja...

Senin, 21 Desember 2009

Balasan Kebaikan adalah kebaikan begitu pun sebaliknya...

Dua berita yang cukup mengejutkan datang hampir bersamaan. Saya tidak tahu, apakah ini berita gembira atau berita duka. Tapi yang jelas ini ada kaitannya dengan perjalanan hidup saya yang berpindah-pindah dari kota satu ke kota lain di negeri ini.

Seorang teman di kota P, tempat saya bermukim selama 6 tahun di sana, mengabari bahwa Fajrul (bukan nama sebenarnya) dan Amrul (juga bukan nama sebenarnya) sekarang tidak ketahuan rimbanya. hilang karena dikejar-kejar banyak orang. Mereka berdua melarikan diri karena jiwanya terancam oleh orang-orang di kota tersebut. Meski permasalahan keduanya berbeda, tetapi akbiatnya hampir sama. Saya tidak suka mendengar berita itu. Sebab bagaimanapun, saya sempat sangat dekat dengan mereka berdua. saya sangat menaruh kepercayaan yang tinggi kepada mereka berdua. meski kepercayaanku itu berujung pada suatu yang sangat tidak saya duga. sangat menyakitkan hati saya. tetapi saya biarkan saja. toh saya tidak akan selamanya tinggal di kota tesebut dan bersama mereka berdua selamanya.

Sewaktu di kota itu saya memimpin sebuah LSM yang bergerak di bidang pendidikan. Saya tidak pernah berhenti untuk berinovasi dan berkreasi untuk melakukan pendampingan bagi anak-anak sekolah (SMP, SMA dan SMK). Hampir semua guru dan siswa di sekolah-sekolah favorit mengenal saya. Meski saya mengakui bahwa ini adalah hasil kerja yang sangat baik tim saya. mereka sangat kompak dan bersemangat. setiap keputusan organisasi adalah bukan keputusan saya. saya melibatkan semua anggota LSM tersebut. sejak awal saya mengatakan bahwa pekerjaan ini adalah pekerjaan kita. agenda ini adalah agenda kita. tak satupun di antara kita, siapapun, termasuk saya berhak mengklaim bahwa ini adalah kerja pribadi. ini adalah kerja kelompok. kerja tim. agenda bersama. ide yang sudah digulirkan menjadi ide bersama, tidak boleh ada yang mengklaim bahwa ini adalah ide si fulan atau si fulan.

Tak ada yang saya harapkan, apapun. Semangat saya adalah panggilan jiwa. itu saja. Saya tidak mengharapkan apapun termasuk tidak mengharapkan bahwa di aktifitas saya berujung fitnah terhadapku. Tersebar di antara teman-teman di sana bahwa saya mencari popularitas. Mementingkan diri sendiri. Jadilah diri saya sebagai buah bibir di antara teman2. beruntung kalau yang dibicarakan itu tentang hal positif. tetapi ini sebaliknya. Saya hanya bisa menghela nafas. tidak ada yang bisa saya perbuat. tetapi saya masih bersyukur bahwa semua anggota tim saya tetap percaya kepada saya. saya mencoba berdialog dengan mereka dan kesimpulannya mereka tidak percaya dengan fitnah tersebut. Dan saya tahu dari seseorang yang bersimpati kepada saya bahwa P Amrul adalah orang yang menyebarkan fitnah tersebut. Saya sangat kaget pada waktu itu, sebab saya sangat besar kepercayaan saya kepada beliau. Saya tidak bersikap apapun. saya tetap bekerja sesuai dengan tugas saya pada waktu itu. keyakinan saya adalah bahwa, suatu saat kebenaran itu pasti akan terungkap. Fitnah kedua adalah bahwa saya dituduh telah melakukan perbuatan keji, yang tidak pantas dilakukan oleh seorang panutan. saya kembali tidak berdaya, penjelasan sudah saya sampaikan, tetapi apa lacur, berita terus tersebar bagaikan angin yang terus berhembus. Saya tidak tahu apakah karena ini, ketika saya pindahan pergi meninggalkan kota itu, tak satupun di antara mereka, teman-temanku yang saya sangat menaruh kepercayaan, tak satupun dari mereka yang datang ke rumah saya meski sekedar basa-basi. tetapi saya tak peduli. sebab hidup saya tidak bergantung kepada masnusia, tetapi kepada Allah, Tuhan Yang Maha Berkuasa. Mr Fajrul, orang yang paling dituakan dan dipercaya, yang saya pun sangat hormat dan percaya kepadanya, memutuskan bahwa saya bersalah. Beliau lebih mengikuti berita yang sudah tersebar. dan saya kembali tak berdaya. saya pikir biarlah waktu yang akan membuktikan. sebab Allah mencintai kebenaran dan akan membela hamba-hamba-Nya yang benar.

Saya tidak suka mendegar berita tentang permasalahan yang menimpa dua sahabatku itu. Mata saya menghangat secara tiba-tiba waktu saya mendengar berita itu. saya mencoba menghubungi nomor HP mereka, tetapi tak pernah berhasil, sampai sekarang. Semoga Allah mengampuni segala dosanya dan menolongnya. Saya sangat menaruh empati kepada mereka berdua juga istri dan ank-anak mereka yang ditinggalkannya. Tentu sangat sulit bagi istiri-istrinya berjuang sendiri tanpa didampingi suaminya yang entah berada di mana.

Berita kedua datang dari kota P yang lain. Seorang sahabat saya bernama Ramadhan (bukan nama sebenarnya) terkena strok. Kabarnya, separuh tubuhnya kini nyaris tidak dapat difungsikan lagi. Air mata saya sempat menetes pada waktu mendengarnya. Bagaimanapun Ramdahan adalah sahabat saya, meski menjelang kepindahan saya, dia berbuat sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya. Pada waktu itu kami terlibat utang piutang. Uang 7 juta rupiah saya berada di tangannya. sehari setelah saya mendapatkan SK pindah, saya meminta untuk dikembalikan. tetapi sampai menjelang keberangkatan, uang itu tidak juga dikelmbalikan. akhirnya setelah saya paksa, dia kembalikan. tetapi tidak semuanya. hanya 5,5 juta yang dikembalikan. saya bilang ya sudahlah... Saya berpikir, kalau saya mengikhlaskan, Allah pasti akan berikan gantinya. Berita stoknya Ramadhan sangat mengejutkan dan membuat hati saya berduka. Dia adalah teman dekat saya. sahabat yang selama 5 tahun pergaulan, saya menaruh kepercayaan kepadanya.

Dua berita duka, mengingatkan saya kepada seorang sahabat saya. Saya tak ingin kejadian serupa menimpanya. Di setiap kesempatan saya menyelipkan doa untuknya, agar kiranya Allah tidak murka kepadanya.
Berita itu memberikan pengalaman batin yang sangat dalam bagi saya. Seolah mengirim pesan kepada jiwa saya, janganlah aa kejahatan dalam diri saya, sekecil apapun, kepada saudara sendiri. Meski hanya sebatas doa. Saya tak pernah mendoakan orang agar ditimpakan musibah, takut kalau-kalau doa itu malah berbalik. saya juga jadi takut berbuat jahat kepada orang lain. sebab Allah tidak pernah lengah, malaikat-Nya pun selalu mencatat apa yang saya lakukan.
Dan yang paling penting adalah bahwa tidak ada balasan dari kebaikan kecuali kebaikan dan begitu pula sebaliknya.

Dan pada saat ini pun saya sedang merasa ada yang berbuat jahat kpd saya, entah disengaja atau tidak. Saya terlibat transaksi dengan seorang sahabat yang sangat saya percaya. tak sedikitpun ada keraguan kepadanya tentang integirtasnya selama ini. aku percayakan uangku sebesar 70 jt kepadanya. tetapi ketika uang itu akan saya minta kembali, sampai sekarang belum berhasil saya minta. Kali inipun saya kembali tidak berdaya. hanya satu keyakinan saya. Bahwa Allah pasti akan memberikan kepada saya gantinya. entah dari mana asalnya.

Oleh karenanya, saya tak akan pernah berhenti berbuat baik kepada siapapun. ada kebaikan yang akan saya dapatkan dari perbuatan baik itu.
Kejadian-kejadian itu pun tidak menyebabkan saya tidak mempercayai siapapun. saya tetap percaya kepada siapapun. karena pada dasarnya tak seoangpun berkeinginan berbuat jahat kpd orang lain sebagaimana dia tidak ingin orang lain berbuat jahat kepadanya.

Ibaratnya, itu hanya setitik noktah, yang tidak adil kalau kejahatan yang hanya setitik itu menjadikan seluruh jiwa dan raganya dinilai tidak baik. kejahatan itu hanya menempati satu moment dari begitu panjangnya perjalanan waktu yang sudah dilewatinya. sungguh tidak adil kalau saya sampai menutup seluruh waktu dalam kehidupannya dengan kejahatan yang hanya setitik moment itu.
Wallahu a'lam bishowab.

Minggu, 13 September 2009

Kalau Kita Mau Minta, Allah Pasti Kasih

Jangan pernah putus asa terhadap rahmat dan kasih sayang Allah. Jangan pernah mengeluh tentang nasibnya yang mungkin (sedang) tidak baik. Apalagi membandingkan usaha dan ibadah kita di sisi Allah dengan nasib (buruk) yang sedang kita alami. Karena sesungguhnya nikmat yang Allah berikan kepada kita itu tidak ada hubungannya dengan amal ibadah kita. Artinya, Allah memberikan karunia-Nya bukan karena kita mengamalkan ini dan itu atau kualitas ibadah kita yang luar biasa. Allah itu Maha Pemurah. Bahkan Allah kasih kita makanan terbaik sebelum kita melakukan apapun untuk memujiNya. Tidak tanggung-tanggung, stok dua tahun Allah sediakan. Dia adalah air susu ibu. Seorang bayi yang belum mampu berbuat apa-apa dipersialkan menikmatinya selama 2 tahun. Saran para pakar bahkan, selama 6 bulan cukup dikasih ASI eksklusif dsaja, tanpa tambahan makanan yang lain.

Itu adalah bukti. Bukti bahwa tanpa diminta pun Allah kasih. Apalagi jika kita mau meminta kepada-Nya.

Ini adalah peristiwa yang pernah saya alami belasan tahun silam. Waktu itu saya masih duduk di kelas 2 SMA. Sebagai seorang anak remaja yang sedang mencari jati diri, apa yang saya anggap benar pada waktu itu pasti saya pertahankan sekuat tenaga. Hingga karena sikap ini, sering terjadi benturan antara anak dan orang tua. Apalagi kalau orang tua tidak mau tahu dengan kondisi anak yang seperti itu.

Singkat cerita, malam itu saya merasa menjadi orang yang paling traniaya. Tekad saya sangat kuat. Kabur dari rumah. Orang tua sudah tidak menganggapku sabagai anak, pikir saya waktu itu. Di antara tujuh bersaudara, saya adalah orang yang paling keras dalam bersikap kepada bapak. Tetapi sikap itu hilang sama sekali sejak saya kuliah di STAN dan ikut kajian dasar-dasar keislaman (KD2I) di kampus. Sikap saya berubah 180 derajat terhadap bapak. Saya menjadi orang yang paling halus tutur katanya, meski beda pendapat tetap tak berubah.

Kembali kepada peristiwa malam itu. Terjadi 'pertarungan' tak seimbang. Singkat cerita, saya hampir tak sadar. Termasuk benar-benar tidak sadar bahwa jam tangan hadiah dari kakakuu yang tadinya melingkar di tangan kiriku, sudah tak lagi di sana. Saya baru sadar setelah berjalan meninggalkan rumah cukup jauh. Tidak ingin kehilangan jam tangan tercinta, saya pun balik menuju TKP. Lama saya mencarinya. Di setiap jengkal tanah kucoba mencari. Hasilnya... nihil. Tidak ada. Tidak ketemu. Hatiku sangat sedih. Saya pun pasrah kepada Allah.

Malam itu saya urungkan untuk minggat dari rumah. Saya tidur di langgar dekat rumah. Sebelum tidur saya mengambil air wudhu dan melakukan sholat dua rakaat. Saya berdoa sambil menangis. Saya meminta kepada Allah agar mencarikan dan mengembalikan jam tangan saya. Setelah itu baru tidur.

Dalam tidurku saya bermimpi. Mimpi yang tak kan pernah lupa.
Dalam mimpi saya berjalan keluar langgar menuju TKP. Dengan sangat nyata saya melihat tangan saya mengambil jam tangan saya. Dan mimpi itu pergi begitu saja tanpa mengusik tidurku. Saya tetap tertidur sampai bangun sebelum orang-orang datang mau sholat subuh. Tanpa berpikir panjang, saya bergegas menuju TKP, mengikuti apa saya lihat di dalam mimpi.

Sungguh sangat luar biasa. Mimpi yang nyata. Saya pun menangis kembali. Tetapi bukan tangisan penderitaan. Ini adalah tangisan kegembiraan. "Terima kasih ya Allah, Engkau menjawab langsung permintaan saya," pikir saya pada waktu itu.
Sejak saat itu saya tak pernah ragu untuk meminta kepada Allah. Sejak saat itu, apalagi kemudian kuliah di STAN Prodip Keuangan Jakarta dan ikut KD2I, keyakinanku semakin bertambah, bahwa kalau kita mau minta kepada Allah, pasti Allah akan berikan. Makanya, apapun saya tak akan meinta kepada selainNya. Saya meminta sesuatu hanya kepada Allah melalui doa-doa saya.

Jangan pernah berpikir tentang logika ketika berdoa. Jangan pernah berpikir bagaimana cara Allah mewujudkan permintaan kita. Sebab Dia punya cara sendiri bagaimana mewujudkannya yang sering kali berbeda dengan yang kita pikirkan atau bahkan tidak pernah terpikir sama sekali. Wallahu a'lam bishshawab.